Di setiap perjumpaan dengan teman lama atau baru saya selalu menanyakan apa id Twitternya. Namun teman-teman yang mayoritas seorang digital /immigrant/ menjawab tidak punya. Alasannya, karena mereka merasa tidak perlu. Yang lain merasa tidak atau belum merasakan kenyamanan memakai salah satu media sosial yang lagi ngehit itu.
Penolakan mereka kebanyakan dikarenakan kebelumtahuan belaka. Mereka menganggap dirinya bukan artis atau seleb. Ngetwit adalah sesuatu yang aneh, untuk apa mengetahui atau memamerkan apa yang sedang dilakukan? Twitter masih dianggap yang kurang bermanfaat dan menghabiskan waktu belaka.
Seorang teman @namacontoh awalnya juga menolak untuk membuat akun di twitter. Namun setelah mengetahui teman-temannya telah mempunyai akun di aplikasi microblogging ini, terpaksa ia mendaftar. Awalnya dia hanya memposting link-link dari blognya juga dari media lain. Dengan twitter blognya makin banyak pengunjungnya. Lama-lama ia kecanduan.
Mulailah teman saya itu melakukan konversasi di medium yang hanya menyediakan 140 karakter ini. Setiap pagi ia menyapa para rainmaker, orang yang mempunyai follower banyak dan sangat berpengaruh di garis waktu (timeline). Dan tanpa sungkan berkenalan. Ia makin rajin memfollow orang-orang yang dianggapnya inspiratif. Makin hari id Twitternya makin sering berseliweran di garis waktu.
Di Twitter, kecenderungan orang yang mempunyai kesamaan hobi, visi, kebiasaan dan kesenangan yang sama membentuk kerumunan. Kadang kerumunan itu ditandai dengan tagar (tanda pagar) atau #. Beberapa di antaranya #Ngopsor #AkademiBerbagi maupun #Obsat. Dari Twitter turun ke kopdar (kopi darat). Dari situlah ia merasakan betapa besarnya manfaat Twitter. Yakni meluaskan ruang lingkup sosialnya.
Dari rainmaker, pakar atau ahli tertentu yang di follownya, ia memperoleh pengetahuan baru. Ia kini mulai memelototi garis waktunya nyaris tanpa henti. Ia memantau apa yang dibaca dan dibicarakan @nukman, @mashable atau @guykawasaki dan para ahli di bidang lain yang ia suka. Dengan aplikasi ini ia bisa berhubungan langsung tanpa sekat. Teori six degrees of separation di era web 2.0 ini menjadi basi.
Dan hal yang paling ia tak pernah duga, suatu hari ia difollow oleh @esqief, yang ternyata adalah Syaharani, seorang penyanyi jazz terkenal itu. Sebelumnya ia tak pernah berkhayal akan bisa 'berteman' dengan Syaharani. Namun dengan adanya Twitter ia kini bisa saling berkirim pesan. Ia merasa excite, Twitter yang cara memakainya cukup simpel ini membawanya ke sebuah network yang lebih luas.
Dan diam-diam ia mengirim DM (direct message) ke saya. Selain mengucapkan terima kasih karena telah dijerumuskan ke tempat yang benar, ia kini merasa bisa mengingat sesuatu, berpikir dan menulis lebih baik. Karena dengan space yang hanya 140 karakter memaksa setiap user menulis seefektif mungkin.
Dia sekarang sadar, pada jaman yang serba terhubung ini, mau tidak mau, suka atau tidak kita harus ikut arus teknologi yang terus berkembang. Kalau tidak kita akan ditinggal peradaban yang seperti berlari ini. Kita akan menjadi orang yang buta huruf teknologi. Jadi keep update teknologi.
0 komentar:
Posting Komentar